Irvan Irawan Jie
Mastering - Quality Control

Seekor kelinci lucu berwarna putih yang tinggal di padang, berlarian kesana-kemari di hamparan rumput hijau yang luas. Dengan mata merahnya dia melihat sekelilingnya dan mencari rumah bagi keluarganya. Setelah properti yang diinginkan di bawah pohon besar sebelah sungai, dia mulai menggali dan memasang fondasi rumahnya. Dia menggali dan menggali dan menggali terus sampai ke dalam tanah. Bagi siapa pun yang masuk ke dalam rumahnya, akan dengan mudah tersesat karena rumahnya bagai labirin yang elok dan penuh dengan jebakan.
Ekspresi masuk ke lubang kelinci dipopulerkan oleh cerita Alice in Wonderland oleh Lewis Carroll. Ketika Alice masuk ke lubang kelinci, maka dia dipindahkan dari dunia kepada dunia yang lain, dunia dimana banyak hal yang tidak masuk akal dan aneh. Dunia di lubang kelinci adalah dunia yang irasional, belum tentu benar tetapi dianggap sebagai sebuah kenyataan, dunia dimana bahaya dan kesenangan menjadi satu dan tidak dapat dibedakan. Dunia pikiran. Inilah yang terjadi kepada saya, masuk ke lubang kelinci sebelum tidur yang mengakibatkan tidak bisa tidur sampai larut malam.
Banyak hal yang bisa saya khawatirkan di saat-saat sekarang. Bukan karena saya ingin mengkhawatirkannya, tetapi karena pikiran itu datang dengan sendirinya. Seperti seekor kelinci yang mengudang saya masuk ke lubangnya. Seperti tetesan air AC yang tidak diharapkan tetapi tetap menetes ke atas kepala saya. Ketika sebuah kelinci pikiran datang pertama kalinya, seolah-olah tidak ada artinya dan tidak terlalu besar. Namun ketika mengikuti kelinci itu masuk ke dalam lubangnya, semakin dipikirkan, semakin besar kekhawatiran yang dirasakan.
Masuk dalam dunia lubang kelinci, dimana pikiran-pikiran yang belum tentu terjadi, belum tentu benar dan belum tentu berguna berada, apabila tidak disadari maka seseorang akan terus masuk ke dalamnya. Semakin meluncur ke dalam menghibur diri sendiri dengan pikiran-pikiran yang belum tentu berguna. Menghabiskan waktu mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu benar. Sebagai manusia pencipta makna, makna yang saya ciptakan bisa saja tidak berguna bagi saya.
Di sinilah kemampuan berpikir apakah pikiran saya ini berguna bagi saya? kalau berguna apa gunanya? dan kalau tidak berguna, pikiran seperti apa yang lebih berguna? Pertanyaan yang memampukan saya untuk mengendalikan kualitas pikiran saya. Daripada semakin dalam masuk ke lubang kelinci, sudahkah mengendalikan kualitas pikiran diri kita?
To your highest and masterful self,
Irvan Irawan Jie
Neuro-Semantics Trainer
Associate Certified Meta-Coach