Irvan Irawan Jie
Hey, This Is Crazy, but I’m Stupid

Photo was taken from: http://masakecil-erwin.blogspot.com/2012/04/pudin-11-warga-kampung-baru-desa.html
Beberapa tahun yang lalu saya menemukan bahwa menulis adalah sesuatu yang menyenangkan. Selama beberapa minggu saya menulis non-stop hanya karena sebuah iming-iming hadiah dari kompetisi kecil-kecilan di kantor. Walau pada akhirnya menulis menjadi sebuah hobi yang menyenangkan tapi saya kecewa karena hadiah yang dijanjikan hanyalah janji belaka. Karena kekecewaan itu saya jadi berhenti menulis, walau tidak total. Ada trauma tersendiri dari menulis yang membuat saya menghindarinya.
Selama beberapa minggu belakangan saya sedang belajar NLP untuk sebuah cita-cita yang menurut saya cukup baik. Dalam training NLP saya, saya ditanya kenapa saya berhenti menulis dan yang teringat adalah rasa pahitnya ketika saya menulis tapi dikecewakan. Pernyataan yang diberikan kepada saya waktu itu adalah: “Sungguh hebat seseorang itu sehingga pak Irvan jadi berhenti menulis lagi…” Dari sana saya berpikir, benar juga ya… kesenangan saya untuk menulis adalah untuk diri saya sendiri, bukan untuk kesenangan orang lain. Kenapa juga saya menyerahkan “kontrol” kesenangan saya untuk menulis kepada seseorang atau sebuah lembaga lain. Ini menjadi sebuah pembelajaran penting untuk saya.
Dalam hidup, seringkali kita dikecewakan oleh orang lain. Tanpa kita sadari akhirnya kekecewaan itu menjadi sebuah ancor negative untuk diri kita sendiri. Anchor negatif saya adalah menulis dan perasaan yang keluar adalah perasaan dikecewakan. Akhirnya setelah mengerti saya menghilangkan achor itu dan sekarang saya mau mulai menulis lagi. Coba pikirkan dalam diri kita masing-masing, dalam diri kita masih banyak achor-anchor negatif yang menghalangi kita mencapai hal-hal yang sebenarnya tanpa kita sadari kita inginkan. Trauma masa lalu bisa diibaratkan menjadi “beban” dalam hidup kita.
Ada sebuah cerita yang pernah saya dengar, ceritanya seperti ini:
Di sebuah desa ada seorang pemuda yang pekerjaannya memotong kayu. Pemuda ini memiliki seorang istri yang sedang hamil tua. Suatu hari, setelah selesai memotong kayu di hutan dia berjalan pulang dengan memanggul kayu-kayu yang dipotongnya. Dalam perjalanan ada sebuah mobil pick up terbuka yang menghapiri dirinya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Mobil itu tiba-tiba mengerem dengan kuat…. Ciiiiiiiiiiittttttttt begitu bunyinya.
Pasti yang dipikirkan adalah mobil itu menabrak pemuda itu ya? Padahal saya tidak ingin menulis itu (ini adalah masalah persepsi, sala satu yang saya pelajari juga beberapa minggu ini. Begitu ada kesempatan akan saya tulis lagi mengenai hal ini ya).
Mobil pick up itu tidak menabrak si pemuda yang sedang mengangkut kayu itu, tapi berhenti tepat di sebelahnya. Ternyata pengemudi mobil itu adalah pak RT tempat dia tinggal, dan dengan muka gembira dia berkata “Hai pemuda, cepatlah pulang istrimu baru saja melahirkan. Mari ikut saya, naik saja ke atas bak pick up ini dan akan saya antarkan kamu ke rumah untuk melihat anakmu…” Dengan wajah senang sang pemuda ini lalu naik ke atas pick up terbuka itu, dan pak RT pun segera tancap gas untuk bergeas pulang. Bruuuummmmm…. Begitu bunyinya….
Di tengah perjalanan, pak RT dikagetkan dengan ketukan di atas mobilnya. Ternyata pemuda ini mengetuk-ngetuk kap mobil pak RT dan berkata “Pak RT, tolong jangan terlalu ngebut, nanti kayu-kayu saya akan berhamburan.” Lalu pak RT melihat ke kaca spion dan dia melihat si pemuda ini di belakang pick up terbukanya masih berdiri. Melihat hal yang aneh dan karena ditegur pak RT pun memberhentikan mobilnya lagi di tengah jalan. Waktu pak RT menengok ke belakang dia kaget bukan kepalang, ternyata si pemuda ini masih berdiri dan memanggul kayu-kayu yang di potongnya selama mobil berjalan. Dan dengan bijak pak RT inipun berkata kepada pemuda itu “Hai pemuda, untuk apa kau panggul kayu-kayu itu, bukankah kau bisa menaruh kayu-kayu itu di atas bak mobil ini?”
Hidup akan selalu berjalan seperti mobil pick up pak RT, mari kita bayangkan bahwa kita adalah pemuda itu dan kayu-kayu yang dipanggul adalah semua trauma, phobia, pengalaman buruk, dan beban hidup kita yang sudah kita kumpulkan bertahun-tahun. Bahkan tanpa sadar mungkin kita sudah mengumpulkan kayu-kayu itu dari semenjak kita kecil. Dan anehnya seringkali kita masih memanggul itu semua ketika kehidupan berjalan, dan akhirnya kita merasa lelah mengarungi jalanan hidup kita diatas mobil pick up pak RT.
Adalah sangat penting bagi kita, apabila kita ingin mencapai hal-hal yang kita inginkan dalam hidup untuk melepaskan beban kita. Dengan tidak adanya beban, banyak sel-sel otak kita yang dipakai untuk merasa khawatir, takut, malas, marah, dan emosi lainnya yang tiba-tiba terbebas. Sel-sel ini akan mencari tujuan hidup baru. Apabila sel-sel ini kita arahkan atau kita focuskan untuk kehidupan kita yang lebih baik (Misalnya: lebih kreatif, belajar, menikmati dan mensyukuri hidup), bukankah kita akan lebih menikmati hidup?
Marilah untuk hidup yang lebih baik, kita mulai melepaskan beban-beban kita. Selesaikan semua masalah yang masih menumpuk, jangan hanya dijadikan kayu untuk di panggul. Lepaskan ikatan kayunya, taruh di bak mobil pick up. Masalah tidak akan bisa selesai kalau tidak di selesaikan, tapi kalau hanya sekedar memori yang tidak menyenangkan ada baiknya untuk dilepas. Kita memiliki kontrol akan otak kita sendiri, kita bisa membuat otak kita melepaskan semua beban. Kita juga bisa membuat otak kita bekerja untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dalam hidup kita. Kita juga bisa membuat otak kita semakin efektif dan semakin kreatif untuk mencapai hidup yang lebih baik.
Irvan Irawan Jie